:: coretan seorang ayah yang bodoh ::

01 Desember 2004

BUAH ANGGUR
(Sebuah Kisah Untuk Saudaraku di
Tanah Serambi Mekkah)


Pengantar penulis:
Artikel ini ditulis sekitar tahun 2000 dan telah dimuat di sebuah media cetak lokal di Banda Aceh (maksudnya koran loh bukan tanah lempung cetakan). Dimaksudkan sebagai sebuah renungan atas "euphoria" referendum dan kemerdekaan yang sedang berkembang saat itu. Dengan sedikit revisi, kembali ditulis. dalam merayakan kemerdekaan alam berpikir umat manusia. Semoga dapat memberi hikmah.

oooOOOooo

Maukah aku ceritakan sebuah kisah? Sebuah kisah diantara keletihan dalam derita berkepanjangan di negeri kita. Sebuah kisah yang mungkin dapat menjadi penghantar tidur. Sebuah cerita tentang sahabat-sahabat kita.
Alkisah di sebuah sudut kota Banda Aceh. Pada sebuah masa, di musim kemarau yang menyengat di bulan Juli. Terdapat seseorang lelaki yang baru saja memperoleh uang yang lebih dari biasanya ia terima. Lelaki sederhana yang diberi nama Ismail oleh ibunya. Namun begitu, orang-orang terbiasa memanggilnya Mae. Sepanjang hari-hari belakangan ini Mae merasa sebagai seseorang yang bebas dan merdeka. Karenanya ia merasa bisa menentukan hendak digunakan untuk apa kelebihan rezekinya tadi.
Bagi dirinya yang selama ini serba kekurangan dan penghasilannya selalu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya—mengisi perut, Mae berniat mencicipi rasa buah anggur. Buah anggur mempunyai citra tersendiri bagi dirinya. Setidaknya, dalam benaknya yang sederhana setiap orang kaya pasti makan buah anggur. Dan ingat! bagi Mae, ia adalah seorang yang kaya. Kenapa? Sebab ia mempunyai uang lebih dan karenanya juga dia ingin makan buah anggur.
Masih dalam pikiran sederhananya, buah anggur berarti buah anggur yang berwarna merah agak kehitaman. Ini telah terpatri kuat, ibarat tujuan hidupnya. Ingat! Mae adalah orang yang merdeka, jadi bebas berpikiran seperti itu.
Lalu datanglah Mae ke kios buah di pojok pasar tepat di sebelah kedai Bang Idris dimana ia sering membeli beras. Dari jarak pantas, dilihatnya serumpun buah anggur mengantung mengoda selera. Merah, mungkin sedikit bernuansa kehitaman, begerombol berdesakan tergantung ada tangkai-tangkai mungil, berputar memancarkan kilap setiap kali sinar surya menerpa kulitnya yang mulus, seakan melambai pada Mae. Mengajak liur terbit, seakan memelas memohon untuk diraih, dipetik, digigit kulit daging mulusnya, serta dikecap manisnya dan lembut dagingnya. Tanpa terasa liur Mae menetes perlahan dari ujung mulutnya.
Dengan senyum tersungging dibibirnya dan langkah tegap, dihampiri penjual buah. Tapi tunggu dulu! Apa yang mengantung di sebelah buah anggur tadi? Bentuknya sama persis dengan buah anggur, tapi warnanya berbeda, hijau muda mengkilap dan tentunya mengundang selera Mae juga.
Menurut pepatah yang pernah didengarnya, orang bijak pernah berkata, “Malu bertanya sesat di jalan,” Maka bertanyalah dia pada Cek Usman si Penjual Buah. Ternyata memang keduanya adalah buah anggur. Hatinya ingin bertanya lagi, mengapa warnanya berbeda dengan yang biasa ia tahu? Tapi, kembali ia teringat pada si Zul, kawan sebelah rumah kontrakannya yang kebetulan aktivis mahasiswa. Si Zul pernah berkata kepada Mae “Bang, banyak bertanya, orang pikir kita bodoh!”. Entah pepatah itu benar atau tidak, tapi Mae sebagai seorang lelaki jantan, merdeka, dan kaya, memiliki harga diri dan ia merasa bukan orang bodoh. Setidaknya begitu yang ia rasakan. Lagi pula mahasiswa itu kan orang pintar, orang makan bangku Sekolah, masak sih salah dalam bicara.
Sebab itu, segera ia pergi meninggalkan kios buah. Pulang membawa rasa bingung yang mendalam.
Mae masih tetap seorang yang bebas, ia masih merasa sebagai orang kaya dan jangan lupa ia bukan seorang yang bodoh. Tetap terpatri keras di benaknya, bahwa ia seorang yang bebas dan ia seorang yang kaya. Karenanya ia harus makan buah anggur. Tapi ia tidak tahu buah anggur warna merah atau hijau yang akan ia beli dan nikmati.
Keesokan harinya Mae kembali mendatangi kios buah yang sama—dipasar yang sama, di pojok yang sama di tempat biasanya ia membeli beras. Dari satu sudut yang tepat, dalam jarak pandang yang nyaman, mata Mae terfokus memandang pada satu titik, atau lebih tepatnya dua titik. Seikat buah anggur unggu dan seikat buah anggur hijau. Masih dalam kebimbangan yang sama, masih dalam keyakinan dan tekad yang sama. Sepanjang hari dihabiskan waktunya melakukan kegiatan yang sama. Esoknya, Mae masih melakukan hal yang sama, juga kemudian esok harinya, esok harinya lagi, lagi, lagi. Berulang begitu setiap hari, seakan memang Mae tidak punya kegiatan lain. Waktu telah berjalan sebulan lebih semenjak ia berniat membeli buah anggur. Mae belum juga tahu buah anggur warna apa yang ingin ia beli.
Dalam kebimbangannya, Mae masih sempat mencari tahu. Tapi ingat jangan ribut-ribut soal yang satu ini. Mae akan marah besar. Ia bukan seorang bodoh dan punya harga diri. Maka itu ia sangat malu bila ketahuan atau diributkan ketika ia mencari tahu mengenai satu hal. Perlahan, ia mencari tahu pada orang-orang yang ia anggap mengerti mengenai masalah yang mulai membuat kepalanya berdenyut. Akhirnya Mae bertanya kepada beberapa orang mengenai kelebihan buah anggur warna merah atau hijau. Setiap orang yang ditanyainya memberikan pendapat yang berbeda. Tak pelak, kepala Mae semakin berdenyut. Pusing!!!
Satu kali, seorang pakar filosofi kebudayaan pedesaan, memberikan pendapat. Bahwa buah anggur unggu adalah yang terbaik. Si profesor ini memberikan alasan bahwa buah anggur jenis ini berasal dari negeri di dataran eropa. Lagipula dalam proses produksinya tanaman anggur ini diolah dengan menggunakan teknologi tinggi. Manggut-manggut penuh takjub Mae dibuatnya mendengar penjelasan pakar tadi.
Lain lagi yang dikatakan oleh seorang pedagang kain jilbab. Si pedagang yang kebetulan mempunyai sedikit garis keturunan berasal dari Arab—walaupun setiap orang tahu ia juga memiliki kakek buyut kelahiran Caleu, Pidie, berusaha mati-matian menyakinkan Mae bahwa tiada yang lebih lezat dan menyejukkan dari buah anggur berwarna hijau. Sebab, kata si pedagang jilbab tadi, buah anggur berwarna hijau berasal dari dataran jazirah Arab. Oleh sebab itu setiap buahnya merupakan kesegaran yang tersimpan dari oasis padang pasir. Tidak heran jika kemudian buah anggur berwarna hijau dibayangkan sebagai buah anggur yang akan membawa kesejukkan dalam rongga kerongkongan setiap manusia yang mengecap keranumannya.
Sungguh, mulai saat itu Mae semakin bingung. Perutanya terasa mual, laksana dikocok blender babh Wong, tetangganya yang tukang es campur.
Suatu hari, Mae sakit keras. Sakit keras dalam kebingungan dan kebimbangan yang membatu. Sakit keras dalam mimpi dan harapannya menjadi “orang kaya”. Sakit keras dalam kepercayaannya bahwa ia seorang yang merdeka dan bebas. Meringkuk, menggigil dengan memeluk uang yang mestinya hendak dibelikannya seikat buah anggur. Buah anggur yang hingga saat ini belum pasti juga berwarna apa.
Dalam kebimbangan dan keyakinan yang semakin membesar, bahwa Ia seseorang kaya, merdeka, bebas, paling pintar sejagat, dan hebat, sakit Mae semakin parah. Terkapar di atas ranjang tuanya. Berbaring lemah seiring menyusutnya raga yang membalut jiwanya yang belum juga menyerah. Mae yakin, seseorang yang merdeka, bebas, kaya, dan cerdas seperti dirinya tak mungkin dikalahkan oleh sakit raga seperti yang dideritanya saat ini. Hingga suatu Waktu—saat raga lemah tak lagi mampu bertahan--Mae meninggal. Raga Mae menyerah, walau jiwanya tetap kukuh. Raga Mae menyerah merelakan nyawanya terbang menemui Sang Pencipta dalam kesombongan dan keyakinan yang semakin membesar. Mati dalam kesia-sian pemikirannya.
Sebuah pilihan, lebih sering dapat diambil tanpa harus memilih. Dua atau mungkin lebih pilihan, lebih sering bernuansa sama untuk menjadi keragaman pilihan bila tidak ingin mengatakan sebenarnya hanya satu pilihan belaka. Walaupun pilihan-pilihan tersebut benar merupakan beberapa hal yang berbeda dan mempunyai akibat yang berbeda, lalu mengapa harus ragu memilih. Mengapa harus membiarkan orang lain mengaburkan keyakinan kita atas pilihan itu. Tentunya di balik pengetahuan yang cukup mengenai pilihan tersebut, agar tidak menyesal dikemudian hari.
Sahabat. Setiap jiwa kita menyimpan sosok Mae. Mae adalah manusia yang kebetulan digambarkan memiliki darah keturunan Aceh dan hidup di Aceh. Seperti juga kita. Dalam wujud fisik yang berbeda. Mae adalah gambaran khas diri kita, bangsa Melayu, bangsa Indonesia dalam berbagai macam suku bangsa yang mungkin kebetulan berbeda tempat kelahiran.
Terserah kita untuk menerimanya atau tidak.***