:: coretan seorang ayah yang bodoh ::

04 Desember 2005

Warna Putih


Beberapa minggu lalu, guru saya mengajak kita bermain sebuah permainan psikologi. Salah satu begini. Dia bertanya ke kita satu per satu, “Apa yang tercetus dalam pikiranmu saat mendengar warna putih?” Tentu saja kita mesti menjawab secara spontan. Meski yang mendapat giliran mendapat belakangan punya kesempatan berpikir sekitar 2-3 menit. Oh iya, kita satu kelas 10 orang.

Jawabannya? Kalian? Iya… sama tuh. Rata-rata temen sekelas saya juga menjawab seperti itu. Putih artinya bersih, suci, polos, dan jawaban standar lainnya. Ada sih yang menjawab “menyeramkan” atau “ pucat”.

Anehnya, saya justru sama sekali nggak bisa menjawab. Otak saya tiba-tiba blank. Kosong tanpa ada satupun kata yang bisa melintas di otak saya yang sebenarnya memang rada ini. Saya Cuma bisa menggelengkan kepala ke arah guru saya yang cantik ini. Eit! Tapi bukan karena guru saya cantik lalu otak saya jadi kosong yah!

Pertama mah saya biasa aja. Cuma nggak bisa menjawab pertanyaan meski memang sangat sederhana. Saya pikir, “Ah, paling cuman karena otak saya yang lagi males kerja”. Tapi saya mulai bingung dan jadi berpikir lama saat guru bilang begini, “ Kalian tahu, deskripsi kalian tentang warna putih adalah apapun yang kalian pikirkan tentang kematian”

Kematian! Blank!

02 Desember 2005

Beras Impor


Sudah lebih dari bilangan dua minggu, di media-media (TV, radio , koran dan majalah) pada ribut-ribut soal beras impor. Bermula dari kebijakan pemerintah dalam hal ini Departemen Perdagangan) yang mengimpor beras (yang sepertinya) asal Thailand. Katanya sih untuk mengendalikan harga pasar beras di Indonesia ini.

Masalahnya kemudian timbul karena sebenarnya (menurut yang kontra impor beras) persediaan beras nasional, baik di gudang-gudang Bulog maupun gudang pedagang beras (kalo pedagang beras besar mah artinya pasti lain) lebih dari cukup untuk memenuhi permintaan pasar hingga musim panen mendatang. Hal lainnya karena dengan melimpah beras di pasaran, otomatis harga beras (terutama beras lokal) terpukul semakin rendah. Padahal harga sekarang (terutama harga jual petani ke pedagang penampung) sudah sangat rendah dan nyaris tidak menutupi biaya produksi petani (bibit, pupuk, insektisida, ongkos panen, ongkos angkut dan lain-lain). Parahnya lagi, ternyata karena musim tanam yang berbeda, di sebagian daerah musim panen justru baru saja atau akan segera tiba. Pastinya, pedagang bakal membeli beras dari petani dengan harga yang jauuuuh lebih rendah.

Atas argumen tersebut, maka dituailah berbagai protes. Termasuk gelombang demonstrasi (duh gelombang! Kesannya gimana gitu?) di banyak daerah. Hingga saat ini.
Bayangin aja kalo 150 juta penduduk Indonesia enggan membeli beras impor, apa kagak busuk tuh beras. Busuk kelamaan menimbun di gudang-gudang. Pedagang jadi males jual beras impor, akhirnya para pengusaha yang dah ngeluarin duit buat nyogok pejabat Departemen Perdagangan itu bakal rugi gede. Seru…. Seru…

Ok… ok… nggak 150 juta…
Hanya 50 juta….
Hem.. 10 Juta?
Oh… 2 juta deh….
Iya… Iya… 100 orang!
Ya udah cuma saya sendirian!
Tapi tetap aja seru mikirin ide seperti ini, daripada panas-panas demonstrasi, mana haus lagi teriak-teriak di depan orang “tuli”.

Gimana?