:: coretan seorang ayah yang bodoh ::

23 Maret 2005

Heran nggak siiih???


Lucu nggak?
Awalnya cerpen kemudian ceritanya di adopsi menjadi film, dari film tadi kemudian dibuat novel.

Satu karya sastra (cerpen) kemudian diterbitkan ulang sebagai karya satra lainnya (novel) oleh penulis yang berbeda dan penerbit yang sama. Duuhh mestikah?

Ok… ok… terdapat perubahan alur cerita saat cerpen tersebut diadopsi ke film, dan saat ditulis ulang kembali dalam bentuk novel. Tapi masak sampe segitunya sih…

Jika film itu berusaha mengisi relung-relung kosong yang tak mampu diisi oleh sebuah karya sastra (dalam hal ini cerpen), lalu kemudian ternyata relung-relung kosong itu kembali dikosongkan dengan menuliskan kembali dalam bentuk karya satra lainnya (novel). Duuuhhh…..

Heran nih…
Hhhmmm… mungkin trik pemasaran aja yah? Entah lah…

18 Maret 2005

satu cuplikan...

"Ikut yuk!"
"Kemana?"
"Lihat pameran foto. Anak-anak IndoNikon ceritanya tuh bikin pameran. Dan malam ini penutupannya. Udah deh nggak usah mikir, ikut aja!"
"Pameran foto? Males ah! Pasti banyak fotografer gitu..."
"Yeee.... ini anak! Udah sini aku bantuin masukin barang nggak jelas kamu itu ke dalam tas!”
“Ikut aja! Fotografernya asyik-asyik, kebanyakan dari mereka amatir kok. Kayaknya nyantai lah...."
"Nggggg… gimana ya? “
“Loh! Kok malah nanya gimana!”
“Tinggal angkat badan kamu dari kursi, matiin komputer, dandan yang cantik, terus berangkat.”
“Apa susahnya sih?!!”
“Ya udah deh…."
Sambil menepis tangan Santi yang mengumpulkan segala pernik di atas meja, Amel menarik tas dari dalam laci di cabinet meja kubikelnya.
“Bentar yah, aku cuci muka dulu”, ujar Amel sambil meraih tas kecil “sakti” berisi pernik kosmetika.
Can’t live without this stuffs, can we? Amel membatin.
“Hhhhmm… nggak mau pergi, tapi tetep aja dandan…”, goda Santi yang sudah siap mencangklung tas Brada-nya.

****

Mohon bimbingannya....

13 Maret 2005

Bukan Salahmu

Satu episode dari satu cerpen belum lagi dapat diselesaikan. Mohon bimbinganya...

"Aku tahu, aku nggak pernah bertanya tentang status Mas, tapi kenyataan ini tetap mengguncang aku"
"...."
"Loh kok diam Mas?"
"Aku... aku ndak tahu harus mengatakan apa"
"Yang aku tahu bahwa aku senang sering bersama kamu, aku senang kita bisa tertawa bersama, saling bertukar cerita...."
"Namun aku sulit menghindari kenyataan bahwa itu ternyata malah membuat kita saling menyakiti"

Lea membuang pandangannya keluar Café De Lepheut. Anak-anak pengasong berlarian di atas aspal pelataran parkir. Tangannya tak henti mengacuk Ice Lemon Tea di gelas.

Hari baru saja beranjak meninggalkan siang. Cahaya senja mulai tampak di barat Jakarta. Entah siapa yang mengusulkan, akhirnya sepulang liputan di She-Sat, perusahaan satellite multinasional, mereka memutuskan mampir sekedar minum Kolding, Kolak Dingin. Tapi Lea hari ini lebih memilih Ice Lemon Tea. Warna teh yang merah kecokletan mengingatkan aku pada kulit Ari, batin Lea berkilah.

“Kamu begitu baik”
“Jika dapat mengurangi beban di hatimu, aku minta maaf karena tidak sedari awal menceritakan kondisi aku.”
“Jangan! Jangan Mas! Jangan minta maaf! Mas Ari nggak salah sama sekali!”
“Justru aku yang mestinya tidak lekas mengartikan sikap Mas selama ini ke aku.”

Tangan Ari bergerak hendak meraih telapak tangan Lea, namun diurungkannya. Akhirnya kamera di atas meja yang menjadi sasaran tangannya. Kamera yang menjadi “senjata”nya selama menjadi fotografer untuk harian nasional “Kompor”.

Lea dan Ari terdiam. Hanya suara lembut Michael Frank meneriakkan seonggok kue di dalam toples. Mereka membiarkan hening yang hantarkan senja menjumpai malam.

***

08 Maret 2005

Profesional

Kerap berdiskusi tentang profesionalisme dalam satu komunitas fotografi, mebuat saya sering bertanya dalam hati, “Apa sih profesional itu? Apa sih amatir itu?

Mungkin saja professional erat hubungannya dengan sikap mental. Sikap seseorang dalam menghargai profesi yang dipilih dan digelutinya, sikap untuk menghargai profesi orang lain.

Jadi teringat pesan Oom Dedy Mizwar, “Boleh murah, tapi jangan jadi murahan!”
Apa dapat diartikan juga, “Boleh gratis, tapi jangan gratisan!”

Terserah bagaimana kita mentejermahkannya, sepanjang kita dapat menghargai profesi kita masing-masing dengan baik…